Senin, 09 Maret 2015

perancis

Suatu Saat Kita Akan ke Perancis, Sayang

Suatu saat kita akan menginjakkan kaki di Perancis, Sayang
Perancis masih nyenyak ketika kita berdua akhirnya tiba di stasiun Gallieni, Paris, setelah melewati perjalanan panjang dari Amsterdam. Jauh sebelumnya melewatkan waktu hampir 15 jam terbang di atas lautan. Sepi. Di sudut-sudut platform kereta underground, beberapa rombongan backpacker bergelung mendengkur pelan dalam suhu musim gugur milik kota Perancis yang kurang bersahabat. Saling berlomba merapatkan sleeping bag masing-masing. Terkantuk-kantuk kelelahan berjuang dalam cengkraman kota metropolitan, Perancis. Beberapa dari mereka sibuk membereskan carrier ukuran jumbo, mungkin akan melanjutkan perjalanan pagi nanti. Petugas keamanan bersliweran mengecek. Semburat bulan keemasan masih sedikit nampak di langit Perancis, dini hari.

Aku mengeluh kedinginan sembari susah payah mengencangkan risleting pakaian wol merah overcoat sederhana yang kukenakan menggunakan sebelah lenganku. Baru menyadari kamu bahkan tidak berniat melepas separuh jemariku dari genggaman hangatmu setibanya di peron stasiun tadi. Saling menertawakan diri saat bersitatap, menyadari keberadaan sepasang pria dan wanita dengan tangan saling menggenggam, merasa asing berada di lingkungan baru, dengan pakaian yang kusut masai membungkus badan. Dan bau keringat. Ah, bau petualangan, kamu benar, Sayang.
Kamu mulai sibuk dengan kacamatamu, mengembun akibat perbedaan suhu yang drastis. Aku sibuk memperhatikanmu. Bekas kaki-kaki peluh yang menempel di sepanjang dahi. Keringat di ujung hidungmu, mencetak bekas kacamata yang lupa ditanggalkan sepanjang perjalanan. Rambutmu pun acak tertiup angin. Sepasang kantung mata menyembul dari balik lensa minusmu. Kamu lelah, melewati berjam-jam bahkan puluhan jam, jauh dari pelukan rumah. Tapi matamu bahkan tidak akan pernah beranjak dariku, memastikan aku tertidur lelap dalam rengkuhan bahumu.
Suatu saat kita akan menghirup aroma Perancis, Sayang.
Aku merentangkan tangan lebar-lebar. Melemaskan otot-otot setelah meringkuk dalam kursi Bus Internasional Euroline dari Amsterdam—lupa bahwa berpuluh-puluh jam lalu aku sibuk merajuk saat kehabisan tiket kabin tidur. Menelisik hembusan udara selamat datang dari Perancis. Terasa kebas di ujung jari-jariku yang telanjang. Menyambut belaian lembut angin musim gugur Perancis yang terasa dingin di sela-sela tengkukku. Menghidu gemerlapnya ribuan cahaya yang membungkus kota Paris dini hari. Hangat menyergap dadaku. Berdesing ketika dua atom oksigen saling mengikatkan diri, bertukar dengan gumpalan molekul karbon dioksida saat aku menghidu napas dalam, pelan-pelan.
Perancis, ini aku datang dalam damai.
Tiba-tiba kamu mencubit pipiku gemas. Tertawa melihat ada bekas jiplakan kain jaket mengular di pipiku. Saling membagi senyum menguatkan. Sama-sama kelelahan, aku tahu. Kamu bergegas menyeret kopor besar milik kita, berhati-hati menuruni tangga menuju metro, kereta underground, transportasi yang paling banyak digunakan di Paris. Aku menertawakanmu sesaat kemudian setelah kamu berhenti tiba-tiba karena lupa menggandeng tanganku erat.
Kita bertemu dengan seorang wanita paruh baya berambut pirang keemasan, shift penjaga tiket metro pagi itu. Tersenyum ramah dari dalam booth penjualan tiket metro. Menyapa kami sebagai pelanggan pertamanya hari itu dengan semangat, terdengar aksen Perancis kental.
“Bonjour Monsieur et Mademoiselle. Nous ne pouvons rien faire? (Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?”
“Ah, bonjour, Madame! (Ah, selamat pagi!)” aku tergeragap. “Yes, please. We need two tickets to go to the Eiffel Tower. What ticket do you have? (Ya, kami membutuhkan dua tiket metro menuju menara Eiffel. Tiket apa yang tersedia di sini?)” Saking gugupnya semua kosa kata Perancis yang telah ku latih bertahun-tahun, buyar.
“Nous avons une ligne 6 du metro et RER C. (Kami mempunyai metro line 6 dan RER C)”
Kamu mulai tak sabaran, “Anything which can make us arrive immediately at the Eiffel. (Tiket apa pun yang dapat membuat kami tiba lebih cepat ke Eiffel)”
Wanita berambut pirang itu tergelak, “Bienvenue a la francaise. (Selamat datang di Perancis.)”
Begitu menginjakkan kaki di metro, aku tersadar bahwa baru saja terkena imbas pertikaian antara Inggris dan Perancis ratusan tahun yang lalu. Apa pun yang aku tanyakan dalam bahasa Inggris, dijawab perempuan berambut pirang tadi dengan bahasa Perancis. Membenarkan kabar burung yang selama ini ku dengar bahwa penduduk Perancis; laki laki perempaun; amat sangat mencintai bahasanya sediri. Mereka mempunyai culture litterair, melek budaya dan bercita rasa tinggi. You won’t be able living in here, if you can’t speak French.
Aku nyengir lebar ketika melihatmu mulai kebingungan mempelajari peta jalur metro dan kereta yang tertempel di pintu metro. Kebingungan karena peta itu hanya menampakkan titik-titik berwarna merah dan biru, yang berawal dari stasiun Gallieni, dan berakhir di suatu tempat asing dengan pronouncation yang sulit diucapkan; Pant de Levallois-Becon. Aku hanya diam sambil menahan tawa melihatmu kebingungan. Tidak ada yang bisa aku lakukan, bukan? Aku bahkan masih tidak hafal arah mata angin di high school dulu, bagaimana mungkin tiba-tiba keajaiban datang dan aku dengan sakleknya memberitahumu jalur metro yang kita naiki ini.
“Stasiun Champs de mars tour eiffel,” suara kerasmu mendesing di telingaku, menggangguku yang masih sibuk memperhatikanmu.
“Hah?” aku kaget mendengar suaramu yang disengau-sengaukan, khas orang Perancis.
“Nanti kita turun di stasiun Champs de mars tour Eiffel, Ma Cherie.” Ma Cherie, ulangku dalam hati. Ma Cherie artinya Sayang, kan. Pikiranku sibuk membolak-balik kamus digital yang ku telan semalam. “Menara Eiffel hanya berjarak kira-kira 200 meter dari stasiun itu, kita bisa berjalan kaki.”
“Berjalan? Dengan membawa kopor sebesar ini?” seruku heboh, tak mengacuhkan tatapan terganggu milik penumpang lain.
Kamu terbatuk-batuk menahan tawa, “The most important thing is two of us arrive in French, am I right?”
Aku mengangguk, mengeratkan genggaman, “Ya, kamu benar. Seperti biasa.”
Kita berdua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing bahwa mimpi-mimpilah yang akhirnya membawa aku dan kamu tiba di Perancis pagi ini. Perasaan hangat mulai menjalar dari langit-langit mulutku, mengalami gerakan peristaltik di kerongkongan, siap memenuhi alveolus dalam paru-paruku, ketika kerlipan di sekujur Nyonya Besar Eiffel mulai tampak di penglihatanku. Euforia pun membuncah dari wajahmu. Terlalu excited menjemput saat-saat bertatap muka dengan sosok hitam yang tinggi perkasa menjulang di depan. Menara Eiffel. Ya, Eiffel sungguhan yang biasa kita lihat tertempel di textbook mata kuliah kita.
Suatu saat aku akan membawamu ke Perancis, Sayang
“Eiffel,” kamu terpekik perlahan, dibarengi dengan derap laju kakiku terburu-buru mendekatimu, “Eiffel, ya, kita sudah sejauh ini, Sayang!” aku berseru menatap mahakarya Gustave Eiffel kebanggaan Perancis.
Dibungkus kabut. Menara Eiffel berdiri dengan angkuh berlatar belakang langit kelam Perancis di pertengahan musim gugur. Ibarat penjaga raksasa di setiap derak kehidupan Eropa Barat. Menaranya bak mahkota menembus langit, bercumbu dengan udara dingin di ketinggian. Pongah. Tidak peduli pada setiap ratapan iri yang menatapnya penuh puja. Keempat tungkainya, memesona mataku, melangkahi anggun Sungai Seine. Membelah anak-anak airnya menjadi dua, yang kemudian dibentengi dengan selang-seling jembatan penuh artistik berumur ratusan tahun. Mengesankan damai dan tenang. Setiap hela riaknya memantulkan cahaya jingga keemasan dari kerlip cahaya di sekujur tubuh kekar Eiffel. Katedral. Avenue. Taman-taman. Ornamen. Galeri. Saling memeluk erat. Menjadi pemandangan penuh harmonisasi di kanan-kiri sang nyoya besar.
Kamu memanduku menyentuhkan tanganku padanya. Setiap gurat kulitnya mengenai sensor-sensor syaraf di ujung jemariku. Karpuskula Crausse. Dingin. Tapi hangat mengular membasahi setiap senti organ-organ yang menempel di tubuhku. Memaksa otakku untuk berhenti terpesona. Berhenti terpukau. Berhenti meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekadar mimpi indah. Lobus talamusku akhirnya berhasil merefleksikan perasaan bahagia dengan bereaksinya syaraf-syaraf di otakku, turun menggelenyar, perlahan menggerakkan otot-otot bibirku. Menumpahkannya dalam senyum.
Ini Eiffel yang sama. Eiffel yang selama ini terpatri lima sentimeter di depan kening. Dia masih sama, masih tetap cantik. Terlebih dengan pantulan sewarna lembayung dari palet warna milik Tuhan yang mulai menyemburat di ufuk timur. Eiffel yang sama meskipun seukuran raksasa. Jutaan ribu kali lebih besar dibandingkan potretnya yang tergantung elok di dindingku. Berkali-kali lipat lebih elok dibandingkan miniaturnya yang tergantung di kunci sepeda motormu, lebih terlihat anggun daripada bandul miniaturnya di gelang ikatku. Eiffel yang sama. Mimpi kita.
Dan pada akhirnya saat kita harus bersegera pulang, ada dua kata yang harus kuucapkan padamu; Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar